Akar Penindasan Perempuan dalam Ekonomi Politik

Lingkaran Solidaritas
7 min readMar 18, 2019

Oleh: Rahmad Hari dan M. Andy Dava

Kekerasan seksual terhadap perempuan masih saja langgeng dan berjalan sangat massif dalam lingkungan masyarakat hari ini. Seakan-akan kita sebagai masyarakat dibuat tidak tahu menahu dan acuh terhadap kasus tersebut. Tidak hanya itu, dalam institusi baik pendidikan, perusahaan, serta institusi yang dinaungi oleh negara mereka malah menutupi kasus kekerasan seksual tersebut.

Dari kebanyakan kasus, korban malah di salahkan sehingga menimbulkan traumatik tersendiri. Hal ini juga mengakibatkan adanya steorotip negatif pada korban di lingkup sosial masyarakat. Dapat kita lihat hal tersebut menjadi salah satu gambaran bawasannya posisi laki-laki menjadi sangat superior, dikarenakan mempunyai tawaran-tawaran yang membuat si perempuan tergiur.

Budaya seperti ini yang sampai saat ini terpelihara dalam tatanan masyarakat kita, yang biasa disebut dengan patriarki, di mana si laki-laki sangatlah dominan terhadap perempuan. Akan tetapi apa yang membuat budaya seperti ini terjadi, apa penyebabnya?

Asal-Usul Budaya Penindasan Perempuan

Patriarki diambil dari kata “patriarch” yang artinya kekuasaan bapak, yang dimaksudkan di sini bahwa patriarki merupakan suatu sistem imajiner dan turun temurun meletakkan laki-laki dalam posisi tertinggi suatu struktur sosial. Menurut Walby patriarki adalah sebuah sistem struktur sosial dan praktik-praktik yang memposisikan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi, menindas dan mengeksploitasi kaum perempuan.

Penggunaan istilah struktur sosial untuk menunjukkan penolakan terhadap determinisme biologis dan gagasan bahwa setiap individu laki-laki berada pada posisi dominan dan setiap individu perempuan dalam posisi subordinat. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa patriarki adalah sistem sosial yang berlaku di dalam masyarakat dan melanggengkan dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan. Akan tetapi bagaimana patriarki terbentuk?

Jauh sebelum terbentuknya tatanan masyarakat sekarang ini, manusia di bumi hanya terdiri dari berbagai kelompok yang bertahan hidup dengan berburu dan meramu. Pada masa ini tidak ada pembagian kerja yang signifikan, laki-laki dan perempuan memerankan hal yang sama secara bersama-sama dalam proses pemenuhan kebutuhannya.

Selain dengan berburu dan meramu mereka juga tidak menetap dalam satu tempat yang pasti atau yang kita kenal dengan sebutan nomaden. Dapat kita lihat bahwasannya dalam masa ini perempuan dan laki-laki bekerja sama dalam bertahan hidup. Kondisi alam yang semakin membaik membuat kelompok-kelompok berburu tadi memutuskan untuk menetap demi memenuhi kebutuhan yang semakin kompleks, implikasi pada masa ini yaitu ditemukannya cara bercocok tanam atau bertani. Dalam peran kerja yang sebelumnya dilakukan bersama-sama, pada tahap ini sudah mulai adanya pembagian kerja yaitu laki-laki yang masih berburu karena kekuatan dan daya tahan tubuhnya, sedangkan perempuan di rumah untuk bercocok tanam.

Pada tahap selanjutnya manusia pada akhirnya menemukan domestifikasi hewan, perkakas serta penggunaan logam. Selain itu juga karena sudah tinggal menetap dan bertani di suatu tempat dalam jangka waktu yang lama, kegiatan perburuan lambat laun ditinggalkan dan tidak menjadi kegiatan sehari-hari. Ini merupakan masa dimana kembalinya laki-laki ke dalam wilayah domestik atau rumah tangga, laki-laki tak lagi berburu melainkan bertani.

Dalam buku asal-usul keluarga yang ditulis Engels, telah dituliskan bahwa pada tahap ini terjadi perubahan pada kedudukan perempuan dalam tataran pewaris gens yang awalnya dengan mother-right atau hanya anak-anak perempuan dari keturunan ibu yang mendapatkan warisan. Namun karena pengaruh ekonomi-politik yang kuat dan dimiliki oleh laki-laki, kini anak-anak laki-laki pun juga mendapatkan warisan, yaitu warisan dari ayah. Perubahan ini bukan semerta-merta terjadi karena kodrat manusia, namun perubahan yang memang dibentuk oleh manusia itu sendiri. Oleh karena itu ini menjadi sebuah awal kekalahan dari perempuan dan awal dari dominasi laki-laki.

Pada tahap selanjutnya supremasi laki-laki terhadap perempuan semakin tampak dengan ditandai adanya jatuhnya hak-hak waris dari ayah. Hal ini juga menimbulkan pemahaman baru bahwa laki-laki pencari nafkah di luar rumah dan perempuan sebagai penerima nafkah bekerja hanya di bidang domestik. Pemahaman seperti ini yang sampai sekarang terus menjadi dasar pemikiran di masyarakat luas. Bahkan dalam tataran keluarga pun hal ini masih dilanggengkan sampai saat ini.

Padahal secara umum seharusnya keluarga menjadi pendidikan pertama bagi para anak. Lalu apa yang terjadi jika kita tidak di paparkan pemahaman tentang gender? Bisa jadi anak tersebut melakukan tindak pelecehan seksual bahkan bisa lebih.

Dominasi dari Feodalisme ke Kapitalisme

Kita sudah melihat bagaimana pertentangan antara laki-laki dan perempuan sejak kehadirannya di bumi. Dari pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan hingga siapa yang harus merawat anak. Melalui penindasan yang dikemas secara halus, lewat konstruksi kultural dan sosial, perempuan hari ini pun terlihat tidak sadar akan posisi mereka seharusnya dalam masyarakat. Ironisnya para perempuan lebih cenderung menerima fenomena ekssploitasi serta domestifikasi ini dengan lapang dada apa yang terjadi dalam dunia yang penuh dengan supremasi laki-laki.

Dari sini dapat kita lihat bahwasannya apa yang dinamakan dengan kekuatan produksi yang tadinya dimiliki oleh perempuan, kini dimiliki oleh laki-laki. Hal ini membuat laki-laki memiliki kekuatan untuk menguasai tak hanya sarana produksi, namun juga kaum perempuan itu sendiri. Bicara soal kesetaraan gender berarti bicara tentang basis ekonomi apa yang terjadi di dalam suatu tatanan masyarakat.

Dengan kata lain, bicara soal gender hari ini tak bisa lepas dari masa feodal hingga kapitalisme ini. Penindasan atas kaum perempuan ini disatu sisi sangat menguntungkan kapitalisme. Hal ini dibalik fenomena gender ada suatu sejarah serta mekanisme yang terjadi pada tatanan moda produksi. Bukan hanya bagaimana pemanfaatan laki-laki terhadap perempuan, akan tetapi sistem kapitalisme pun juga masuk dalam ajang penindasan terhadap perempuan. Lalu bagaimana hal tersebut bisa terjadi? dan mengapa kapitalisme melanggengkan konstruksi patriarki ini?

Kapitalisme dalam budaya patriarki secara praksisnya mencakup moda produksi atau reproduksi, dimana kedua hal tersebut memiliki korelasi yaitu kapitalisme menciptakan kondisi bahwa perempuan diposisikan sebagai komoditas dalam praktik reproduksi akan penciptaan tenaga kerja baru bagi berlangsungnya praktik moda produksi, dan contoh kasus umum kapitalisme dalam budaya patriarki berupa bentuk eksploitasi tubuh perempuan yang digunakan untuk meraup keuntungan sebagai komoditas seperti pemasaran produk menggunakan sales perempuan untuk menarik konsumen, model majalah dewasa, industri hiburan malam dan lain-lain.

Ketika kita melihat perempuan dalam realitasnya juga sangat ingin memenuhi kebutuhan lain dalam kehidupannya dengan pekerjaan yang mereka pilih selain pekerjaan domestik di keluarga. Budaya patriarki dilanggengkan oleh kapitalis melalui pemanfaatanya dalam pekerjaan rumah tangga keluarga, proses akumulasi kapital melalui bahan pangan sebelum menjadi makanan saji yang beragam untuk kebutuhan konsumsi, berbagai alat rumah tangga dan sebagainya.

Kapitalisme merawat konstruksi atas domestifikasi terhadap perempuan karena kebutuhan rumah tangga yang kompleks menjadi sasaran pasar dan perluasan kapasitas tenaga kerja, karena beban pekerjaan rumah tangga yang hampir seluruhnya dikerjakan oleh perempuan memberikan waktu luang bagi laki-laki dan hal ini dimanfaatkan oleh kapitalisme dalam pengintensifan waktu kerja di pabrik. Implikasi dari hal ini memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga akibat masalah dalam pabrik oleh laki-laki semisal masalah upah yang tidak sesuai dengan moda produksi dan jam kerja.

Akan tetapi ketika perempuan bekerja, dapat kita lihat hasilnya yang sangat jauh berbeda dari laki-laki, mereka malah akan mendapat perlakuan yang negatif dari kalangan masyarakat lain. Dengan kata lain masyarakat hari ini sangat mengamini bahwa laki-laki sangat superior dari perempuan. Namun hal ini dapat ditanggulangi dengan adanya penyisihan beberapa bentuk corak reproduksi secara struktural, analoginya adalah ketika dalam keluarga dimungkinkan untuk mengatur rumah tangga guna mengakumulasikan hasil pemenuhan kebutuhan, hidup bersama dan membesarkan anak-anak secara bersama dalam keluarga, maka akan terjadi kesulitan, namun bukan tidak mungkin untuk mempertahankan bentuk-bentuk alternatif seperti itu dalam sebuah corak sosial yang bertumpu pada kepemilikan pribadi dan tanggung jawab individual.

Pengaturan hidup secara komunal atau kolektif adalah jawaban, dan secara substansial tidak berbenturan dengan tata sosial karena ketika setiap individu dalam keluarga menghendaki untuk berbagi masakan, pengurusan anak dan sebagainya dalam lingkup domestik, tidak seperti ketika mereka membagi aset-aset ekonomi mereka.

Budaya patriarki yang memandang dunia dengan laki -laki sudah terjadi pada puluhan ribu tahun ketika manusia itu ada. Bertahannya budaya patriarki sampai sekarang ini, bukan hanya sekedar berbicara kodrat antara perempuan dan laki-laki itu sendiri. Namun terdapat narasi panjang yang membentuk kondisi seperti ini.

Pikiran kita telah di konstruksi sedemikian rupa agar melanggengkan budaya yang menindas perempuan sekarang ini. Bahkan dalam ranah keluarga yang menjadi salah satu pendidikan pertama bagi kita mengamini hal itu. Dengan kata lain keluarga-keluarga pada masa sekarang memandang hal ini sesuatu yang sudah menjadi kodrat mereka antara perempuan dan laki-laki. Akibatnya, relasi gender yang tidak egaliter lantas menjadi model di dalam keluarga saat ini.

Contoh yang aneh adalah mengenai perempuan mencari nafkah. Sampai saat ini masih cukup banyak perempuan yang hanya bercita-cita menjadi “ibu rumah tangga saja.” Dalam institusi pendidikan pun terjadi kondisi menindas terhadap perempuan, dengan adanya dominasi laki-laki di dalamnya.

Penutup

Banyak kasus kekerasan perempuan yang tidak tuntas atau hanya diselesaikan dengan damai dan kekeluargaan. Hal inilah yang harus kita ketahui supaya kita tidak terjebak oleh kenyataan-kenyataan yang hadir secara empiris. Mencari suatu akar permasalahan jangan hanya dilihat dari luarnya saja, akan tetapi kita harus melihat lebih dalam bagaimana akar permasalahan tersebut.

Tidak mudah memang, ketika kita melawan sistem sendirian dalam kondisi masyarakat yang sekarang ini. Maka harus adanya pemakaian cara-cara alternatif dalam melawan penindasan terhadap perempuan. Secara praksis tentunya bukan hanya perempuan saja, namun semua elemen masyarakat harus sadar akan hal ini.

Sudah banyak perjuangan-perjuangan perempuan dalam narasi sejarah dunia seperti gerakan-gerakan pemikiran feminisme, mulai dari Eropa, Amerika Latin dan lain-lain. Dalam sejarah peradaban besar dunia, manusia menjadi salah satu aktor dalam perkembangan-perkembangan corak masyarakat. Oleh karena itu ketika kita berbicara problema perempuan maka kita juga harus berbicara problema masyarakat secara keseluruhan atau koheren.

Melawan sebuah penindasan bukan semerta-merta berbicara pemenuhan hak dan kebutuhan saja, namun kita juga berbicara keadilan sosial yang akan tercipta dengan tidak adanya penindasan bagi seluruh rakyat. Lalu ketika kita kita sudah mengetahui hal ini, apakah kita akan ikut berjuang melawan penindasan perempuan atau kita hanya diam dan sekedar mengetauhi saja tanpa peduli realita sosial ini?

Daftar pustaka:

Gimenez, Martha A. Kapitalisme dan Penindasan Perempuan: Kembali ke Marx, ed. Rahayu Indiyah Ruth, Pustaka IndoProgress ,2016 Jakarta

Hugo Fransisku. 2014. indoprogress.com/2014/08/materialisme-historis-gender-dan-evolusi-keluarga/. Diakses pada 12-03-2019

--

--